NUNUKAN – Konflik lahan yang berkepanjangan antara Masyarakat Adat Dayak dan PT Adindo di Nunukan akhirnya menemukan titik terang. Kedua belah pihak berhasil mencapai kesepakatan damai melalui mediasi intensif yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Nunukan.
Mediasi yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan berlangsung di Kantor Bupati Nunukan. Kesepakatan damai ini dicapai setelah melalui serangkaian negosiasi dan mediasi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan tokoh masyarakat. Detail lebih lanjut mengenai isi kesepakatan belum diumumkan secara resmi, namun diharapkan dapat memberikan keadilan bagi kedua belah pihak dan memastikan keberlanjutan pembangunan yang selaras dengan hak-hak adat.
Wakil Bupati Nunukan, Hermanus memimpin langsung pertemuan tersebut yang juga dihadiri oleh para kepala adat dan perwakilan lembaga adat dari Kecamatan Sebuku, Tulin Onsoi, Sembakung, Sembakung Atulai, dan Lumbis.
Sementara itu, pihak PT Adindo Hutani Lestari diwakili oleh Kuasa Direksi sekaligus Advisor, Rudi Fajar, Senior Manajer Humas, Arif Fadillah serta Senior Manajer Comdev and Stakeholder Engagement, Djarot Handoko.
“Setelah melalui proses mediasi yang konstruktif, kedua belah pihak berhasil mencapai kesepakatan bersama. Pemerintah daerah berharap ke depan tidak ada lagi konflik serupa, dan hubungan antara masyarakat serta perusahaan dapat berjalan secara harmonis dan saling menguntungkan,” ujar Hermanus.
Sengketa ini berawal dari tindakan pihak perusahaan yang mencabut dan menyemprot tanaman ubi milik warga dengan herbisida. Hal tersebut menimbulkan keresahan di tengah masyarakat adat yang merasa hak atas lahannya terlanggar.
Dalam proses mediasi, disepakati lima poin utama yang dituangkan dalam berita acara dan ditandatangani oleh seluruh perwakilan pihak terkait. Adapun isi kesepakatan tersebut antara lain, PT Adindo Hutani Lestari mendukung permohonan masyarakat adat dari lima kecamatan untuk mengajukan perubahan fungsi kawasan hutan dalam areal perizinan PT Adindo sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, masyarakat meminta Pemkab Nunukan membentuk tim kerja khusus untuk menindaklanjuti permohonan perubahan fungsi kawasan hutan tersebut ke pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kemudian perubahan fungsi kawasan hutan dimaksudkan untuk kebutuhan pemukiman, lahan pertanian, jalan desa dan kabupaten, serta pembangunan sarana publik seperti sekolah, fasilitas kesehatan, sarana keagamaan dan kebudayaan adat,” ucap Hermanus membacakan isi kesepakatan tersebut.
Kemudian, tanaman industri seperti akasia dan ekaliptus yang sudah ditanam dalam wilayah perizinan tetap menjadi milik PT Adindo, dan perusahaan berhak melanjutkan kegiatan operasional sesuai izin yang dimiliki.
Terakhir, lahan yang telah sejak lama digarap masyarakat seperti kampung adat, tegalan, sawah, dan tanah milik akan dikeluarkan dari areal kerja perusahaan sesuai ketentuan dalam berita acara kesepakatan tahun 2007.
Menanggapi hasil kesepakatan tersebut, Kuasa Direksi PT Adindo Hutani Lestari, Rudi Fajar, menyampaikan apresiasi dan permohonan maaf atas kejadian yang telah terjadi.
“Kami bersyukur atas tercapainya kesepakatan ini dan berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah berperan aktif dalam proses mediasi. Apabila ada hal-hal yang kurang berkenan, kami mohon maaf. Ini menjadi pelajaran berharga bagi kami untuk lebih baik dalam menjalin hubungan dengan masyarakat ke depannya,” tutur Rudi.
Hermanus berharap, dengan berakhirnya konflik ini, iklim investasi dan pembangunan di wilayah perbatasan tetap terjaga dalam koridor saling menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat. Ke depan, kolaborasi antara dunia usaha dan masyarakat lokal diharapkan dapat berjalan beriringan menuju pembangunan berkelanjutan.