Penulis : Hendrawan R. Wijaya (Mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar)
Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, adalah wajah liris atas logistik lokal, kedaulatan energi dan nasionalisme.
Kelangkaan BBM bukanlah fenomena baru di Kabupaten Nunukan.
Dilansir dari kompas.com, pada 2020 lalu, kosongnya stok BBM di Krayan, berimbas pada harga jual yang melambung tinggi, yakni Rp. 35.0000 per liter.
Sebagai garda terdepan di perbatasan Malaysia, distribusi BBM seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah.
Pasalnya, kelangkaan BBM sungguh mengganggu kehidupan sehari-hari penduduk Nunukan. Transportasi menjadi terbatas, aktivitas ekonomi terhambat, dan biaya hidup meningkat.
Kondisi ini menciptakan ketidakpuasan di antara penduduk setempat yang mayoritas melangsungkan aktivitas ekonominya sangat bergantung pada BBM.
Jangan heran jika masyarakat akhirnya mengandalkan bensin impor asal Malaysia, untuk mengatasi kondisi tersebut.
Konsekuensinya terhadap nasionalisme sangat signifikan.
Nunukan merupakan bagian dari soal seberapa kuat nasionalisme kita sebenarnya.
Dalam setiap kelangkaan BBM, kita harus mempertanyakan nasib bangsa yang terdampak.
Ini adalah pelajaran tentang nasionalisme praktis. Ini bukan hanya tentang semangat merayakan kemerdekaan setiap 17 Agustus, tetapi bagaimana mengatasi tantangan nyata seperti kelangkaan BBM di tengah musim penghujan.
Dari sudut pandang nasionalisme, kelangkaan BBM di Nunukan mengundang pertanyaan kritis tentang kedaulatan energi Indonesia di wilayah perbatasan.
Nasionalisme secara gamblang diartikan sebagai semangat untuk melindungi dan meningkatkan kepentingan nasional, termasuk dalam hal kedaulatan energi. Namun, ketika sebuah wilayah seperti Nunukan menghadapi kelangkaan energi yang berlarut-larut, ini mengancam integritas kedaulatan nasional secara keseluruhan.
Apakah ini menunjukkan ketidakmampuan pusat untuk menjaga kedaulatan di wilayah perbatasan atau hanya mencerminkan kelalaian birokrasi lokal yang lebih mahir mencari alasan daripada menyelesaikan masalah?
Lantas, apakah ini nasionalisme yang sesungguhnya kita cari?
Apakah nasionalisme hanya sekadar slogan nir-konteks ?
Tentunya kita membutuhkan nasionalisme yang substansial. Nasionalisme yang mempercakapkan tentang tanggung jawab nyata terhadap semua warga negara, tanpa memandang seberapa jauh jarak daerah mereka dari pusat pemerintahan.
Ini dapat menjadi alarm pengingat, bahwa nasionalisme sejati harus tercermin dalam tabiat berbasis bukti untuk melindungi dan meningkatkan kualitas hidup segenap warga negara, di mana pun mereka berada. Dibutuhkan keadilan distribusi BBM, terkait ketersediaan dan aksesisibilitasnya supaya ketergantungan terhadap bensin Malaysia tidak adiktif.
Ketergantungan terhadap impor bensin dari Malaysia membawa risiko geopolitik yang tidak bisa diabaikan.
Indonesia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dalam situasi darurat atau politik yang runyam, pasokan energi ke Nunukan dapat dihentikan atau dimanipulasi oleh negara tetangga.
Hal ini bukan hanya menimbulkan ancaman terhadap kestabilan ekonomi dan sosial di Nunukan, tetapi juga mempengaruhi persepsi nasionalisme di kalangan penduduk lokal.
Untuk memperkuat kedaulatan energi dan mendukung semangat nasionalisme tanpa sekat, antara pusat dan perbatasan, dibutuhkan kerja sama antar instansi, strategi kebijakan energi yang terintegrasi, dan komitmen untuk membangun infrastruktur yang kokoh di wilayah perbatasan.
Sehingga kedaulatan itu bukan sekadar terjaga di atas kertas, tetapi juga di lapangan, termasuk di Ujung Timur Indonesia, yakni Nunukan kita bersama.